Sabtu, 29 Juli 2017

Cerpen - Bingkai Foto.


Namaku Cilla.

Tidak, sebetulnya namaku Sheilla, namun aku terbiasa dengan panggilan Cilla.

Aku bahkan beberapa kali tidak menoleh saat ada yang memanggil nama asli ku.

Sebentar lagi aku akan berumur 21 tahun.

Aku menyeduh kopi instan kemudian ku aduk pelan.

Aroma kopi mulai merebak di apartemen kecilku.

Aku menuju kursi persis di depan jendela.

Tempat ngopi langgananku.

Ternyata diluar hujan.

Tanpa sengaja pandanganku jatuh pada bingkai foto di samping jendela.

Suara hujan pun menjadi pengantarku mengenang masa itu.

---

Besok aku akan genap berumur sepuluh tahun, aku sangat bahagia.

Biasanya ayah dan ibu akan bertanya keinginanku saat ulangtahun dan akan selalu mengabulkannya.

Aku menimbang-nimbang hadiahku sambil menyisir poniku di pagi ini, setelah mantap aku berlari ke meja makan tanpa sabar.

Ayah dan ibu sudah disana, setia dengan senyum mereka yang sudah 9 tahun 11 bulan 29 hari menghiasi pagiku.

“cilla mau apa di hari ulang tahun besok?”

Wah. Inilah saatnya.

“cilla mau kerumah nenek mah!”

Ayah dan Ibu sedikit ragu mendengar keinginanku, lalu tersenyum kemudian.

“iya besok kita kesana yah.. lagipula besok hari libur” kata ibu sambil mengelap dagu ku yang terciprat soup.

Akhirnya datanglah hari ulangtahunku, yeay!

Ayah dan Ibu mengecup keningku singkat, memberi selamat lalu meluncurlah kami kerumah nenek.

Nenek dari ibu jarang sekali kami kunjungi.

Selain rumah nenek jauh, nenek selalu menolak untuk dikunjungi.

Aku pikir mungkin nenek sibuk pergi ke gereja karena nenek adalah seorang pelayan gereja.

Aku sampai lupa rumah nenek seperti apa.

Aku bangun tanpa tahu empat jam sudah berlalu.

Udara daerah rumah nenek sangat segar, energiku pun kembali membuas dan aku meloncat keluar dari mobil dengan ceria.

Rumah nenek tidak besar, namun halamannya luas.

Ayah menurunkan barang-barang kami dari bagasi dan ibu menuntunku kedepan rumah nenek.

“syalom..” sapa ibu saat kami tiba di depan rumah nenek.

Nenek keluar dengan wajah terheran-heran, namun rautnya berubah senang saat melihatku dan ibu.

Aku berlari menuju nenek dan nenek memelukku sambil tertawa.

Nenek memang sosok yang ceria, tidak heran aku mewarisi sifat itu.

Nenek langsung mempersilahkan aku dan ibu masuk sedangkan ayah menyusul kemudian.

Akhirnya aku memasuki rumah nenek!

Aku selalu penasaran dengan rumah nenek.

Kulewati pintu coklat rumah nenek lalu..

Mengapa.. aku merasa ada yang aneh.

Rumah nenek rapi dan bersih, tapi seperti ada yang kurang.

Ah.. aku tahu.

Tidak ada foto tergantung disini.

Satupun tidak.

Aku kemudian berlari kesana kemari menjelajahi rumah nenek selagi nenek, ayah dan ibu berbincang-bincang.

Tapi benar, tidak ada foto keluarga.

Dirumahku, setiap satu meter dinding pasti ada foto.

Entah itu foto pernikahan ayah dan ibu, sampai foto telanjang-telungkup ku saat masih bayi.

Aku terheran sebentar, kemudian bergabung lagi di ruang tamu.

Kakek sudah meninggal sejak beberapa tahun lalu.

Nenek tinggal sendiri, kadang ditemani bibi tapi tidak setiap hari bibi datang kerumah nenek.

Aku bertanya pada Ibu mengapa tidak ada satupun foto dirumah nenek.

Ibu sendiri tidak tahu dan tidak begitu memperhatikan hal itu.

Karena tidak puas aku bertanya kepada nenek.

Nenek hanya tertawa dan bilang tidak ada waktu untuk menggantung foto.

Aku kemudian menyusup kekamar nenek dengan misi mencari album foto selagi nenek ibu dan ayah mengobrol dan ngemil diruang tamu.

Aha!

Kutemukan juga album foto.

Banyak sekali foto ibu, nenek dan kakek.

Kebanyakan saat ibu masih gadis, hampir tidak ada foto terkini.

Ada pula fotoku saat bayi digendong nenek.

Dengan asyik kukumpulkan semua foto yang ku anggap baik, kemudian kucari double tip di laci nenek.

Dalam kerajinan tangan, kemampuanku tidak bisa ditandingi.

Bahkan Niken juara pertama dikelas kalah nilai seni nya dariku.

Akhirnya selesai.

Ku gantung banyak sekali foto di kamar nenek, meski kata “menempel”lebih cocok karena aku menggunakan double tip untuk menempel foto langsung ke dinding.

Setelah itu aku beralih ke ruang tamu tempat nenek, ayah dan ibu berkumpul.

Aku cuek saja menempeli foto.

Setelah 3 foto kutempel ibu baru sadar dan mulai menegurku.

Ekspresi nenek melihat foto yang kutempeli tidak bisa kugambarkan.

Dibanding marah atau tidak suka, sedih lebih cocok.

Aku masih tidak mengerti.

Nenek lalu tertawa dan mulai menawarkan makan siang.

Acara ulang tahunku pun dimulai.

Seperti biasa tiup lilin, makan kue, kado dan lainnya.

Setelah makan ibu dan nenek ke dapur dan mulai bersih-bersih.

Ayah sedang merokok di teras.

Aku yang sedari tadi menonton televise mulai berfikir untuk bergabung dengan golongan wanita dewasa di dapur.

“Ibu kenapa ga pernah gantung foto keluarga?”

Kata ibuku sambil mencuci piring.

Disebelah ibu, nenek tetap fokus mengelap piring basah.

“Bu..”

Panggil ibuku kali ini sambil melihat ke arah nenek.

Kulihat nenek masih mengelap piring tapi piring itu bukannya kering malah makin berair disirami air mata nenek.

Nenek terisak pelan, ibu sedikit panik dan bertanya apa nenek sakit.

Nenek menjawab pelan sambil masih melap piring.

“rindu itu, sangat menyakitkan Ros..”

Ibu terdiam sejenak lalu mengaku kalah.

Ibu menoleh dan terisak lebih keras dari nenek.

Aku yang tidak mengerti pun ikut menangis sambil berlari kembali ke ruang tamu, takut ketahuan menguping.

Adegan itu seperti menekan hatiku.

Entah mengapa mengundang pilu.

---

Aku kembali ke dunia dimana sebentar lagi aku berumur 21 tahun.

Kulihat hujan sudah menjadi gerimis kecil dari jendela.

Kembali kulihat bingkai foto di samping jendela.

Betul juga.

Semakin kupandang foto itu semakin rindu aku.

Foto saat ulang tahunku yang kesepuluh, ibu merangkul nenek dan nenek merangkul aku.